Tewasnya mantan pemimpin Libya Muammar Khadafi meninggalkan duka
bagi sebagian orang Aceh. Setidaknya, itulah yang dirasakan Ligadinsyah,
mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pernah kuliah, sekaligus
ikut pelatihan militer di kamp Tajura, Libya. Bagi Liga, tanpa Khadafi,
tak pernah ada angkatan perang GAM. Bahkan, sebagian anggota GAM pernah
jadi pengawal Khadafi.
Dua tahun di Libya, meninggalkan kenangan mendalam bagi
Ligadinsyah. Liga yang ketika itu masih berusia 24 tahun terpilih
sebagai salah satu dari lima pemuda Aceh yang mendapat beasiswa kuliah
di Al Fatah University, Tripoli, tahun 1986.
Dia mengambil jurusan bahasa Arab. “Kami kuliah di sana atas
rekomendasi almarhum Teungku Hasan Tiro,” kata Liga yang kini berusia 48
tahun .

Meski pemberontakan GAM dimulai tahun 1977, pendidikan militer secara besar-besaran memang baru dimulai pada 1986-1990.
Maka tumpah ruahlah sekitar seribuan pemuda Aceh ke Libya. Mereka
dikirim dalam tiga gelombang. Alumni Libya inilah yang kemudian menjadi
tulang punggung pergerakan GAM. Bahkan, Muzakir Manaf, mantan Panglima
GAM yang kini menjadi ketua Partai Aceh adalah mantan alumni Libya.
Terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Tripoli dan berada di
pinggir laut, kamp Tajura adalah salah satu kamp pelatihan yang
diperuntukkan bagi kelompok ‘bermasalah’ dengan negaranya. Khadafi
menyebutnya: “pelatihan untuk orang-orang tertindas dan terzalimi di negaranya”.


Sejauhmana kedekatan Hasan Tiro dengan Khadafi? Menurut
Ligadinsyah, hubungan keduanya cukup dekat. Bahkan, Hasan Tiro dipercaya
sebagai ketua Makbatabah Al Alami, sebuah lembaga nonstruktural yang
menjadi penasehat politik Khadafi.
Selain itu, Tiro juga didaulat menjadi President Committee peserta
pelatihan militer, membawahi peserta dari negara-negara lain. “Tingkat
kepercayaannya kepada Teungku Hasan sangat tinggi. Teungku Hasan juga
cukup populer di kalangan tangan kanan Khadafi,” kata Ligadinsyah.
Ligadinsyah juga masih ingat benar, sejumlah lulusan terbaik GAM di
Tanjura pernah menjadi pengawal pribadi di ring satu Khadafi. Baginya,
Libya dan Khadafi adalah cikal bakal angkatan perang Aceh Merdeka.”Kalau
Indonesia standar militernya Amerika, angkatan perang GAM dulu
kiblatnya ke Libya.”
Sederet kenangan dan hubungan itulah yang membuat Ligadinsyah
merasa terenyuh ketika di televisi, ia melihat Khadafi tewas dan
diperlakukan tidak manusiawi. “Secara pribadi saya sedih juga dan tidak
simpati kepada tindakan-tindakan kekerasan seprti itu.
Apapun cerita, dia pemimpin yang pernah membebaskan Libya dari
tirani Raja Idris itu dan pemimpin yang disegani di negara-negara Arab.
Harusnya dia diperlakukan lebih manusiawi,” ujarnya.
Kini, Khadafi dan Hasan Tiro telah tiada. Mereka pergi dengan meninggalkan jejak sejarah antara Aceh dan Libya.[]
Sumber : Atjeh Cyber Warrior
No comments